SUASANA tak enak dipandang terlihat ketika memasuki area Rumah Susun yang terletak di Kelurahan Sukaramai II, Kecamatan Medan Area. Gedung empat lantai itu ditinggali oleh 400 Kepala Keluarga (KK), mereka terdiri dari berbagai etnis, tetapi lebih banyak dihuni oleh masyarakat etnis Tionghoa. Setiap unitnya bisa ditempati 5 KK, dengan luas ruangan berukuran 3 x 6 meter.
Mirisnya, dalam ruangan seukuran sel tahanan polsek itu, dihuni oleh 5 sampai 8 anggota keluarga. Mereka tidur saling berdesak-desakan, jarang ada sekat atau kamar-kamar yang membatasi anak perempuan maupun laki-laki, kecuali kamar untuk ibu dan ayah. Rusun Sukaramai sendiri terdiri dari berbagai Blok dan tipe, dari Blok A6 sampai Blok 10 dan tipe 21 sampai 45.
Ketika memasuki anak tangga pertama di Blok A7, pemandangan menjijikan tersaji. Sampah-sampah dibuang dengan sembarangan, membusuk bersama air limbah rumah tangga yang terbuang tidak melalui parit-parit yang tersedia.
Pipa-pipa saluran air pembuangan tampak tak terawat, sehingga air pembuangan dari kamar mandi terbuang lewat pipa yang bocor. Aroma bau pesing bercampur sampah yang membusuk pun terasa menyengat, menyusuk lubang hidung, memualkan isi perut. Anak-anak tangga terbuat dari batu di Blok A7 ini sama sekali tak memiliki pegangan. Kondisi ini tentu sangat membuat khawatir penghuni terutama yang telah lanjut usia (lansia).
“Untuk meletakkan tempat tidur ukuran 5 kaki saja kami tidak bisa, apalagi harus membuat kamar, berapa lagi ruangan yang tersisa. Semua warga disini susah-susah, kalau senang tak mungkin mau tinggal disini,” sebut Paikem, ibu 6 orang anak, yang tinggal di Lantai II Blok A7, Sabtu (05/04/2014).
Sayang Paikem hanya sebagai penyewa, dia membayar seharga Rp 300 ribu perbulan. Tetapi bukan berarti Paikem orang baru. Sejak gadis, Paikem datang dari Sei Rampah, Serdang Bedagai, merantau mencari pekerjaan di Medan, lalu menikah dan tinggal berpindah-pindah. Terakhir, karena sulitnya mendapatkan tempat tinggal yang murah, Paikem pun memutuskan menyewa di Rusun Sukaramai ini, hingga akhirnya anak-anaknya sudah besar semua dan telah memiliki sejumlah cucu.
“Anakku empat yang sudah menikah, mereka semua tinggal di rumah ini. Ada sebelas orang kami di rumah ini. Yah, beginilah keadaannya. Jika tidak ada tempat lain, disini bisa dibilang layak,” tukas Paikem, yang memiliki pekerjaan mencuci pakaian dari rumah ke rumah.
Sedangkan Rosmawati, sejak 1988 sudah menempati rumah satu pintu di Blok A7 ini. Karena ketika itu anaknya baru 3 dan masih kecil-kecil, rumah seukuran 3 x 6 ini cukup lebar untuk ditempati Rosmawati bersama suami dan ketiga anaknya. Namun kini dia tinggal bersama 6 orang anak dan sejumlah cucu.
“Kami sudah lama tinggal disini, sudah lebih 30 tahun. Jadi sudah terbiasa dengan kehidupan disini. Walau terkesan kumuh, jorok dan bau, tidak ada pula warga yang menderita sakit. Warga disini pun rukun damai saja. Lihatlah pribumi dan non pribumi berbaur disini,” ucap Rosmawati (56), warga Rusun Sukaramai Blok A7.
Dia pun berharap kepada pemerintah, melalui Perum Perumnas, yang berencana membangun apartemen sebagai pengganti Rumah Susun Sukaramai, agar memberikan ganti rugi yang layak bagi mereka. Mengingat mereka sudah tidak betah lagi berlama-lama tinggal di Rumah Susun Sukaramai ini, karena Rusun ini sudah tidak sanggup lagi menampung keluarganya.
“Rumah susun inilah satu-satunya harta warisan untuk anak-anak kami. Lihatlah, anak-anak sudah besar semua, mereka tidur dalam satu ruangan yang sama. Jika pun dibuat kamar tidur, ruang tamu hanya selebar 1 meter, begitu juga dengan kamar mandi dan dapur,” ucap Rosmawati, yang membuka warung kopi di sebelah Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah, di samping Rusun Sukaramai.
Akan Dibangun Apartemen
Harapan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak tampaknya sudah di depan mata, Perum Perumnas berencana akan membangun apartemen setinggi 20 lantai sebagai pengganti Rumah Susun Sukaramai, yang sudah tidak layak huni. Untuk memperlancar pembangunan, pihak Perumnas bekerjasama dengan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Sukaramai Medan, untuk mendata warga yang bersedia pindah atau ganti rugi.
“Kita bertugas mendata dan memfasilitasi warga yang bersedia direlokasi. Hingga saat ini kita sudah mendapatkan 215 lembar surat permohonan dari 400 unit pintu yang diajukan ke Perumnas. Yang 215 itu bagi yang mau saja, itu yang kita urus, yang tidak mau, ya tidak kita urus,” ucap Fauzi, Anggota PPRS Sukaramai, yang menempati rumah di Blok A7.
Dengan jumlah 215 surat itu, Pengurus PPRS membawanya ke Perum Perumnas di Jakarta untuk dimusyawarahkan. Hasilnya diumumkan oleh GM Perum Perumnas, pada Senin, 31 Maret 2014 lalu, bahwasannya warga diizinkan meminta ganti rugi dengan cara rumah ganti uang yang pembayarannya di depan tanpa potongan apapun.
Sementara, tanggapan beragam dikemukakan Surya, penghuni Blok A7. Pada umumnya, dirinya bersedia Rumah Susun Sukaramai dibangun Apartemen, asal pihak Perum Perumnas adil dalam soal ganti rugi. Misalnya, rumah diganti rumah, namun tidak ada pembayaran apapun dibelakang hari.
Tetapi jika itu disetujui, maka pihak Perum Perumnas jangan mengkhianati warga. Sebab, selama proses pembangunan, warga harus mendapat kepastian hukum untuk menempati rumah barunya. Terus, selama proses pembangunan, warga juga diberi uang sewa untuk tempat tinggal sementara.
“Alternatif lain, kami ditawarkan uang pindah Rp 252 juta, kalau tidak ingin kembali ke Rumah Susun ini. Tentu bagi keluarga kami yang berjumlah 6 orang, uang segitu tak cukup untuk mencari tempat tinggal baru. Jadi kami harap pemerintah jangan mengakal-akali kamilah,” pungkas Surya yang tinggal bersama orangtuanya.
Senada dengan Surya, A Siun juga menuturkan, jika saja pemerintah serius ingin melakukan relokasi penghuni Rumah Susun Sukaramai, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah, menyediakan tempat tinggal yang layak. Begitu juga, soal ganti ruginya, pemerintah harus adil.
“Sampai sekarang tidak ada kepastian dari pemerintah, kapan Apartemennya akan dibangun. Termasuk juga, apakah kami akan mendapati ganti rugi dengan system rumah ganti rumah atau rumah ganti uang. Terus, selama proses pembangunan yang kemungkinan akan memakan waktu 3 tahun, kemana kami ditempati untuk sementara waktu. Sementara informasinya, kami akan ditempati di Rusunawa Martubung, tapi itu pun tidak jelas, apalagi Rusun di Martubung itu hanya dikhususkan untuk buruh KIM,” ucap A Siun yang menghuni Blok A6. (pl)